Hari Raya Idul Fitri; Mempererat Tali Silaturahmi dan Mengingat Jati Diri


Hari Raya Idul Fitri adalah momen yang indah untuk berkumpul dengan keluarga, tertawa, bercanda dengan sanak famili yang lain. Dalam hal ini tidak lepas dari ibadah yang sudah diatur oleh Islam dan juga sudah menjadi tradisi lebaran masyarakat umum di Indonesia. Pemerintahan memberi libur Hari Raya Idul Fitri dan pasca setelahnya kurang lebih 7 hari. Tanggal 2-3 Mei 2022, libur Hari Raya ditambah cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 4-7 Mei 2022, dan hari Minggu, 8 Mei 2022 adalah libur Umum (Kaldik Dinas Pendidikan Provinsi Jatim 2021-2022).

Libur tujuh hari tersebut juga menjadi tradisi Jawa digunakan sepenuhnya untuk bersilaturahmi. Kemudian untuk memulai pekerjaan dan berbagai kesibukan dilanjutkan setelah hari Riyoyo Kupat (istilah Jawa) dan biasanya hari Raya Kupat/ketupat dilaksanakan 7 hari setelah hari Raya Idul Fitri. Meminjam dari penjelasan wikipedia.org. bahwa Lebaran Ketupat (Riyoyo Kupat/Kupatan) adalah sebuah tradisi peringatan hari raya Idul Fitri di Indonesia, khususnya oleh masyarakat Jawa Timur. Lebaran Ketupat biasanya dilaksanakan pada hari kedelapan hari raya Idul Fitri, yang artinya Kupatan dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal.

Setelah satu hari pelaksanaan Hari Raya idul Fitri, yaitu disunahkan puasa Syawal. dalam hadis disebutkan 6 hari puasa bulan Syawal, setelah satu hari raya idul Fitri. Ada beberapa cara dalam melaksanakan puasa sunah di bulan Syawal ini. Pertama waktu utama yaitu mulai tanggal dua bulan Syawal sampai tanggal 7 Syawal. Ada juga berpuasa sunah di luar tanggal tersebut, atau dengan cara tidak berurutan seperti berpuasa di hari Senin dan Kamis diniati puasa Syawal. Walaupun dilaksanakan dengan cara-cara tersebut, tetap mendapatkan keutamaan puasa Syawal.

Sesuai hadis imam Muslim disebutkan apabila menjalankan puasa 6 hari di bulan Syawal mendapatkan pahala seperti halnya puasa selama satu tahun. “Man soma Romadhona tsumma atba’ahu bisittin min syawalin kaana kasyiami dahr” (Barang siapa berpuasa Romadhon kemudian mengikutinya (berlanjut) berpuasa 6 hari di bulan Syawal, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana orang berpuasa selama satu tahun.

Perintah enam hari puasa sunah di bulan Syawal, mengingatkan kembali pada kondisi tubuh kita, yaitu untuk tetap menjaga kesehatan. Dengan kata lain tidak terlalu memakan makanan yang lebih, meminum minuman yang lebih. Oleh karena itu, ketika unjung-unjung harus pandai menyikapi kadar makanan untuk tubuh kita. Seberapa banyak makanan atau minuman yang harus kita konsumsi dan seberapa jauh makanan atau minuman yang benar-benar membuat tubuh sakit, kita hindari. Jangan sampai, masih ada beberapa hari untuk bersilaturahmi, kita jatuh sakit sebab makanan atau minuman yang berlebihan. Akhirnya, kita tidak bisa melanjutkan bersilaturahmi.

Mempererat Tali Silaturahmi

Sejak selesai melaksanakan sholat idul Fitri, tradisi unjung-unjung begitu melekat di masyarakat, dan juga di daerah lain yang melaksanakannya. Di momen itu kita bisa saling bermaafan dan saling memaafkan. Ada yang berlanjut langsung ke orang tua, meminta maaf atas segala salah dan khilaf. Ada juga hari kedua Hari Raya Idul Fitri pulang ke kampung halaman untuk berkunjung, meminta maaf kepada orang tua dan saudara, atau ke famili yang lain. Dalam hal ini biasanya keluarga yang sudah bekerja berbagi angpau (shodaqoh uang) diberikan kepada keponakan atau anak-anak kecil dari keluarga sendiri, bahkan anak tetangga. Mereka merasa bahagia dikasih uang apalagi uangnya baru-baru.

Saling berkunjung dan saling bersilaturahmi tersebut akan mewujudkan rasa saling mengenal dari keluarga satu dengan keluarga yang lain. Memperkenalkan anggota keluarga yang baru, dari faktor kelahiran ataupun tambahnya keluarga dari faktor pernikahan. Dan mendapat informasi berkurangnya keluarga dari faktor kematian atau akibat perceraian. Kedatangan kita mengajak keluarga, mengajak anak-anak kita di rumah saudara, akan mewujudkan eratnya hubungan keluarga dan merekatkan tali persaudaraan antar keluarga. Karena nantinya hubungan saudara ini akan dilanjutkan oleh anak-anak kita, akan diikat kembali olehnya, apabila kita sebagai orang tua dipanggil oleh Sang Maha Pencipta.

Siang itu panas mentari meneteskan keringat dan membasahi tubuh ini. Saya bersama istri dan anak, juga bersama kakak saya beserta keluarganya berkunjung di rumah Mbah KH. Sholeh Marzuqi. Ini adalah berkunjung yang ketiga kalinya, dua kali sebelumnya kami ke rumah dalem tapi belum bisa berjumpa. Pertama waktu awal saya datang ke rumah orang tua Tuban kami langsung mencari ayah dan ibu untuk meminta maaf, kemudian bersih-bersih badan dan solat asar. Saya bersama keluarga ke rumah Mbah Soleh tapi belum ketemu beliau. Kedua ketika selasai unjung-unjung dan pulang melewati dalem beliau tapi juga belum kepanggih.

Pun ketiga kalinya, ketika bersilaturahmi di dalem beliau hanya bertemu dengan istri dan cucunya. Saat mau pulang, saya sudah memakai sandal dan memakaikan sepatu Hafizah. Mbah KH. Soleh Marzuqi datang, kami kembali dan menyambut beliau dengan jabat tangan dan ucapan salam. “Assalamualaikum Mbah, ngampunten mbah sedoyo kelepatan Kulo da keluarga Kulo”. Kami langsung mengekor beliau menuju ke musholla merupakan tempat tamu pria. Beliau bercerita kalau di Mojokerto mempunya sahabat, di Mojosari ada KH. Kusaeri dan KH. Ali As’adi, kalau di Mojokerto kota ada KH. Abdurrahman dan KH. Jamali. Dari silaturahmi inilah menambah keluarga, dan memperluas pertemanan, perkenalan dimanapun kita berada.

Mengingat Jati Diri

Momen idul Fitri juga menjadi momen untuk mengingat jati diri. Saat kita berkunjung bertemu orang tua, Saya diajak ziarah ke kuburan kakek-nenek, mbah buyut atau dzurriah. Dari ajakan ayah, kami tahu bahwa kita harus tau asal usul keluarga kita. Saya lahir dari ayah dan ayah lahir dari kakek nenek dan seterusnya sampai ke atas. Sejak kecil ayah sering mengajak kami berziarah, dan biasanya silsilah yang sering di sebut adalah: Ila ruhi Mbah Marni, Mbah Asri’ah, Mbah KH Mulyadi, Mbah Kiai Amir, Mbah KH. Ahmad, Mbah KH Usuludin, Mbah KH Abdurrahman Yai Sambu Lasem.

Karena ayah asli Pamotan Rembang maka setiap hari raya idul Fitri menyempatkan ziarah ke sana. Dua idul Fitri tahun sebelumnya, kami tidak bisa ke Pamotan karena situasi Pandemi. Dan tahun ini saya merasa eman tidak bisa ikut ke pesarean Pamotan Rembang, karena hari kedua di Tuban istri saya sakit Demam Berdarah. Saya kira hanya kecapean atau masuk angin saja (saya menulis ini di ruang tunggu ICU istri saya di RSI SAKINAH Mojokerto). Mudah-mudahan segera diberi kesembuhan. Amin.

Adapun silsilah dari ibu yang biasa saya lontarkan setelah solat yaitu: Ila ruhi Mbah Hayatun Nikmah-Kiai Ahmad Bilal, Mbah KH. Marzuki-Hj Ismiyati, Mbah Soleh, Mbah Janur, Mbah Janjang, Mbah Suco Lahumul fatihah. Dari urutan silsilah di atas untuk mengingat siapa jati diri kita dan perlu diingat kita berasal dari leluhur kita. Jangan sampai tidak tau siapa kakek nenek, buyut kita, canggah kita. Fungsi dari berziarah diantara salah satunya adalah mengingat nama-nama leluhur kita dan hal ini harus tersampaikan ke anak-cucu kita nanti.

Leave a comment